Inspirasi

BULAN KEEMPAT

Jam yang bertengger di sudut atas dinding kamarku berdetak keras. Sudah setengah jam aku memandangi kertas kosong, sahabat pendengar setiaku. Tidak ada satu katapun yang mampuku toreh di atasnya, padahal dia tidak pernah marah atau mengeluh ketika tubuhnya ku coret-coret dengan berbagai kalimat. Bukan salahnya, dia tidak berubah. Warna dan ukurannya sama dan sudut tiap sisinya sangat sempurna. Bukan juga salah si hitam yang mengeluh pusing karena sering ku masukkan ke dalam mulutku. Aku benar-benar kehabisan ide untuk melampiaskan keegoisan si tua bangka itu.

***

Asap rokok melambai pelan, menari-nari di langit kamarku, ditebas putaran baling-baling kecil, dan pecah tanpa jejak. Nyamuk bersarang di pakaian yang tergantung di belakang pintu. Gantungannya sekarat, lehernya tercekik kuat. Di sisi kirinya, berhadapan dengan jendela berkelambu, sebuah meja lengkap dengan beberapa buku dan alat tulis. Sebuah asbak rokok lengkap dengan puntung berbagai merek menghiasi kelamnya malam. Aku harus bergadang malam ini, karena baginya ini adalah hutang. Tidak peduli jika besok pagi aku bangun dengan muka pucat mungkin juga telat, menguap setiap saat, dan hidungku berair. Biar dia sadar apa yang telah ku lakukan malam ini demi keegoisannya. Sadar? Kapan? Hingga kucing telah bertanduk pun tak akan!

Fokusku kabur. Aku membayangkan besok semua usahaku ini hanya akan menjadi tumpukan sampah. Caranya membolak-balikan halaman, tangan yang menggaruk pelan uban-uban keriting, sesekali tatapan sinis mata merah yang menurutnya karena selalu bekerja, siang dan malam, serta coret-coretan tak bermakna itu akan menjadi takdir skripsiku. Padahal dia tahu betul, setiap lembaran itu harus ku ketik di rental pengetikan langgananku, biaya print yang ku hemat dari jatah jajanku berakhir di sebuah tong sampah kampus. Tidak ada kata benar untukku. Menurutnya, semua yang telah kukerjakan hampir genap empat bulan ini belum dapat dijadikan tiket meraih gelar sarjanaku. Padahal aku tidak pernah menentangnya, di dalam ruang perkuliahan ataupun sekarang saat dia ditunjuk menjadi pembimbing pertamaku.

Saat dia menjadi pengganti sementara Dosen Waliku yang sedang terbaring lemah di rumah sakit, dia selalu mempermasalahkan hasil akhir setiap mata kuliahku. Bukan karena D atau E, melainkan nilai istimewa yang ku dapat dalam beberapa mata kuliah. Dia langsung mengkorfimasikannya kepada dosen yang mengasuh mata kuliah tersebut, bahkan sering kali dalam bentuk ancaman!

“Bapak dapat mempertanggungjawabkan ini? Ini bukan gara-gara dia tidak pernah menolak ketika Anda meminta bantuan padanya?”.

“Bukan Pak! Dia memang anak yang istimewa! Dia aktif dalam perkuliahan, dia tidak pernah lupa mengerjakan tugas, bahkan dia tidak pernah malu berkonsultasi langsung dengan saya tentang materi-materi yang kurang dipahaminya,” jawab pak Muis, sosok dosen, sahabat, dan ayah bagi mahasiswanya, dosen kebanggaanku.

“Heh, apanya yang istimewa?” ucapnya seraya membiarkan kumis tebal tapi selalu tertata rapi itu meludahi wajahku.

Ah, dia bukan Tuhan. Tidak perlu ku takuti, apalagi sampai menghapus harapan orang tuaku yang sedang menapaki setiap lumpur di sawah, demi seutas harapan, selembar kertas, ijazah sarjanaku. Mataku lelah. Di depanku, tergantung di antara jeruji jendela, Aku memandangi foto era 70an pernikahan ayah dan emak yang terkesan terpaksa. Perlahan pandangan akan seribu kenangan di kampung meyambar lamunanku. Kenangan manja bersama emak, suapan kasar tangannya tapi penuh kasih sayang, pergi mengaji ke surau di kala senja memerah di ujung sana, dan sentuhan rotan ayah ketika aku dipergokinya mandi di irigasi persawahan, semakin gelap dan gelap. Sekilas aku merangkai agenda untuk besok, pagi-pagi harus ke tempat rental pengetikan, menemui bagian pengajaran untuk mengurus beberapa kesalahan pemasukan nilai online, dan menemui si “baik hati” dengan segenap harapan. Tubuhku terbuai dan melambai pelan. Seingatku, tanganku masih memegang sebuah pena mahal, pemberian mantan pacarku. Dia mencampakkanku lewat sebuah SMS; aku tidak dapat menunggumu lagi, aku semakin tua dan aku perempuan. Ku harap kamu mengerti!.

***

prak…

“Apa yang kamu tulis ini? Kamu sengaja menghina saya? Kamu pikir kamu siapa?”.

Ini di luar bayanganku semalam. Biasanya dia hanya berceloteh tak terarah, memberi masukan teori-teori kuno, dan menyuruhku mereview bab-bab yang telah dikencingi penanya. Kali ini dia marah besar. Wajah hitamnya memerah, daun telinganya membara. Urat lehernya timbul tidak seperti biasa dan dengusan nafasnya membakar pandanganku. Aku tertunduk.

“Maaf pak, saya tidak mengerti maksud Bapak!” ucapku terbata. Aku bersalah atas kesalahan yang belum ku mengerti.

“Baca!” Suara tegas Pak Suman semakin membuatku tertunduk. Dia menyulut rokoknya seraya pergi menindih rasa bersalah dan malu di pundakku. Kugapai lembaran-lembaran kertas yang hampir berserakan dari atas meja Pak Suman. Penjepitnya nyaris terlepas. Di halaman terakhirnya tertulis;

Kenapa kau begitu angkuh? Mengapa hanya kau yang selalu benar? Bukankah kita ini sama di mata-Nya, tercipta dari cairan yang hina. Hanya iman yang meninggikan derajat kita. Dan ku yakin derajatmu lebih rendah dari derajatku!.

Ku sembunyikan senyum saat itu, bibirku tetap terkekeh, di dalam hati aku berterima kasih kepada Bang Man, tukang ketik rental. Semoga dia sadar dan mau mengubah sikapnya.

Tinggalkan komentar

search previous next tag category expand menu location phone mail time cart zoom edit close